Perjanjian pajak internasional antar negara, atau yang lebih dikenal dengan tax treaty, tidak mandatori dilakukan oleh semua negara. Namun, sebenarnya, tax treaty memiliki beberapa keuntungan bagi suatu negara. OECD dalam OECD Model (2017) menjelaskan bahwa tujuan utama dilakukan tax treaties adalah untuk menghindari pengenaan pajak berganda antar negara sebagai akibat dari semakin pesatnya kegiatan perdagangan atau kegiatan ekonomi antar negara (cross border trade and investment).
Sumber gambar: https://sftaxcounsel.com/
Fenomena pajak berganda bisa terjadi karena asas pemajakan yang ada pada suatu negara, yaitu asas sumber dan resindensi (warga negara). Pembayar pajak di negara A yang bekerja di negara B akan berpotensi dikenakan pajak di dua negara. Negara A mengenakan pajak atas dasar residensi/warga negara pada warga negaranya (worldwide income basis), sedangkan negara B akan mengenakan pajak atas dasar asas sumber (source basis) pada warga negara A yang memiliki penghasilan di negara B.
Pengenaan pajak berganda ini sebenarnya bisa diatasi dengan kebijakan tax relief yang diatur di dalam domestic tax law. Kebijakan tax relief ini bisa berupa foreign tax relief seperti yang ada di Indonesia yaitu kredit pajak penghasilan pasal 24.
Apabila pengenaan pajak berganda sudah teratasi, apakah masih diperlukan tax treaty?
Dalam bab introduction OECD Model (2017) dan introduction UN Model (2021), dijelaskan beberapa faktor lain yang bisa mempengaruhi ada tidaknya tax treaties seperti: mendorong perdagangan dan investasi; eliminasi dari diskriminasi pajak; menjadi jalan bagi penyelesaian sengketa; pertukaran informasi; bantuan pemungutan pajak; dan sebagai sinyal penerimaan internasional.
Namun demikian, negara berkembang perlu memperhatikan potensial kehilangan penerimaan pajak atau sejumlah pajak yang hilang akibat negosiasi yang pada umumnya melakukan penurunan tarif atas pengenaan pajak residensi asing.
Konsep penurunan pajak excesive untuk residensi asing dilatarbelakangi adalah konsep keseimbangan, dimana kedua negara (apabila bilateral tax treaties) akan sama-sama menanggung kerugian. Negara A akan mengurangi pajak yang dipotong atas entitas asing di negara B, dan negara B akan mengurangi pajak yang dipotong atas entitas asing di negara A sehingga tercipta keseimbangan.
Bagaimanapun, hal yang ideal tersebut bisa terjadi apabila negara A dan negara B memiliki arus perdagangan dan investasi yang seimbang. Apabila tidak seimbang tentu saja akan terjadi bias dan akan merugikan salah satu pihak, terutama pihak net capital-importing dimana nilai impor (asing) lebih banyak dari nilai ekspornya yang mana kebanyakan adalah negara berkembang. Oleh sebab itu diperlukan negosiasi yang baik dengan mempertimbangkan pro dan kontra agar tax treaties tidak merugikan satu pihak.
Comments