Pajak dalam Rangkaian Sejarah Bagian Pertama
Image Source: Wikimedia Foundation Pinterest
Menurut KBBI, Pajak/pa.jak/n didefinisikan sebagai “pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya”, sedangkan menurut undang-undang yang saat ini berlaku di Indonesia, Pajak didefinisikan sebagai “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 1 ayat (1) UU KUP). Pajak yang ada saat ini ada di Indonesia bukan merupakan hal yang baru ada setelah Indonesia merdeka namun telah lama ada bahkan sejak zaman kerajaan meskipun dengan nama yang berbeda.
A. Masa Kerajaan
Kerajaan seperti Sriwijaya (abad ke-3-12 Masehi), Mataram Kuno, Majapahit (abad ke-13 –15 Masehi), Kerajaan Aceh, Banten dan kerajaan pesisir lainnya (seperti Jepara, Gresik, Timor, Maluku, Ternate-Tidore) telah menggunakan sistem perpajakan sebagai sumber dana untuk operasional kerajaan, membangun dan memelihara infrastruktur serta kegiatan keagamaan. Ada yang melakukan pemungutan dengan cara yang sederhana, ada pula yang telah menggunakan sistem pemungutan pajak secara sistematis dan terstruktur (Galeri Pajak Gedung MM, 2020).
Dalam bahasa Jawa Kuno, pajak disebut dengan drabya haji yang selain berarti pajak secara umum juga berarti milik raja. Raja dianggap sebagai titisan dewa yang memiliki hak atas tanah dan segala aktivitas di atas tanah tersebut (Dwiyanto, 1995). Pajak diartikan sebagai konsekuensi karena menggarap tanah raja atau menyelenggarakan usaha di atas tanah raja (Darmosoetopo, 1971) dan sebagai upeti kepada raja sebagai penguasa wilayah (Farouq, 2018).
"asok glondhong pengare-areng, penipeni rojo peni, guru bakal guru dadi, ngaturaken putri tondho lintuning sih katresnan. Persembahan itu disampaikan kepada raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti, yang disampaikan oleh rakyat di wilayah kekuasaan kerajaan" (Pudyatmoko, 2006)
Pada masa kerajaan, pemungut pajak (fiskus) dapat dikenali dalam berbagai prasasti dengan sebutan pangkur, tawan, tirip dan kelompok sang manilala drabya haji (Dwiyanto,1995). Lebih lanjut dalam jurnal yang berjudul “Pungutan Pajak dan Pembatasan Usaha di Jawa pada Abad IX-XV Masehi yang dimuat di Jurnal Humaniora I tahun 1995, Dwiyanto menjelaskan beberapa jenis pajak yang dipungut pada zaman kerajaan pada abad IX-XV seperti.
(a) Pajak Tanah
Pajak ini dikenai atas tanah yang dikelola rakyat seperti tanah sawah, pegagan (sawah kering), kebun, sungai rawa dan lembah sungai (Prasasti Kamlagyan, 1037 M) yang dihitung dengan luas tampah haji seperti yang tertuang dalam prasasti palepangan (906 M).
(b) Pajak perdagangan
Pajak perdagangan dalam beberapa prasasti disebut dengan pajak atas kegiatan sambyawahara atau pajak atas masambyawahara.
(c) Pajak orang asing
Pajak ini dikenakan atas warga yang disebut golongan kilalang. Pada prasasti Palebuhan (927 M) disebutkan pajak atas “….. sowasa ni kilalang Klin aryya singhala” (Orang kilalang seperti Kling, Arya, Singhala).
(d) Pajak atas Keluar masuk
Pajak atas keluar masuk (exit permit) dikenal dengan istilah pinta palaku yang dipungut oleh sang manilala drabya haji yang ditafsirkan sebagai profesi yang meminta pajak dari orang yang melakukan perjalanan.
B. Masa Hindia Timur- VOC
Aman (2014, hal 7-11) menyebutkan bahwa paham merkantilisme, kapitalisme, revolusi industri, jatuhnya konstantinopel oleh kekaisaran Turki, semangat 3 G (gold, gospel, glory) dan tantangan teori heliosentris menyebabkan bangsa-bangsa barat mendatangi daerah timur termasuk Indonesia. Kedatangan bangsa barat tersebut dimulai dari kedatangan bangsa Portugis di Malaka tahun 1511, bangsa spanyol yang mencapai Maluku tahun 1521 yang kemudian disusul Inggris tahun 1579 dan Belanda tahun 1596.
Dengan dalih perdagangan, negara barat datang dan bersaing untuk mendapatkan rempah-rempah Hindia Timur. Persaingan itulah yang memicu lahirnya Veredigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada 20 Maret 1602. VOC memiliki hak Istimewa yaitu hak monopoli dan hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara. Salah satu hak kedaulatan VOC adalah dapat memungut pajak (Aman, 2014:12-13). Kesuksesan VOC dalam membangun dan mengelola kota Bataviadengan pajak membuat Batavia terkenal dengan sebutan sebutan “Koningen Het van Oosten” atau “Ratu di Timur” (Gallery Pajak Gedung MM, 2020).
C. Masa Republik Bataaf dan Penjajahan Inggris
Pada 31 Desember 1799 VOC dinyatakan bubar dan status bekas kekuasaan VOC menjadi Republilk Bataaf yang dikuasai Prancis (Aman, 2014). Republik Bataaf dikelola oleh Deandles sampai tahun 1811. Dalam pemerintahannya, Deandles meningkatkan usaha pemasukan uang dengan cara pemungutan pajak dan penjualan tanah kepada swasta. Tidak hanya itu, kebijakan yang terkenal dari Deandless adalah keharusan rakyat untuk menyerahkan hasil wajib pertanian (Sardiman dan Lestariningsih, 2017).
Pada tahun 1811 merupakan masa dimulainya pendudukan Inggris yang dipimpin oleh Rafles. Rafles menghapus peranan para bupati sebagai pemungut pajak dan memasukkannya dalam pemerintah kolonial. Rafles juga menghapus segala kerja rodi, penyerahan wajib hasil pertanian dan menggantinya dengan penanaman bebas melalui sistem sewa (Sardiman dan Lestariningsih, 2014). Sistem sewa tersebut dikenal dengan land rent, sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan balas jasa atas penggunaan lahan yang harus dibayarkan atau diapresiasikan pada lahan (Rustiadi, et al, 2006). Landrent didasarkan pada suatu paham bahwa semua tanah adalah milik raja (soveriegn) dan kepala desa adalah "penyewa" (pachetrs). Farouq (2018) menyebutkan Raffles nampaknya mengadopsi sistem pajak tanah di India dengan tiga jenis sistem pemungutan:
1) Sistem Zamindari atau zamindarars
Sistem ini mengenakan pajak tanah dengan jumlah tetap. Sistem ini dipakai di Benggala.
2) Sistem Pateedari atau Mauzawari
Sistem ini memberlakukan pajak bumi pada desa sebagai satu kesatuan. Distribusi beban pajak kepada penduduk desa diserahkan kepada kepala desa. Sistem ini dipakai di Punjab.
3) Sistem Rayatwari
Sistem ini menganakan langsung kepada para petani yang mengolah tanah berdasarkan pendapatan rata-rata tanah yang diusahakan petani tersebut. Sistem ini diberlakukan di Madras dan Bombay.
C.Penjajahan Belanda
Pada tahun 1816, Belanda menguasai Indonesia. Sistem land rent yang sebelumnya dikenakan oleh Inggris kepada penduduk di Indonesia tetap diterapkan namun berubah nama menjadi landrete (Rosdiana, et al, 2017). Pada tahun 1830 kondisi keuangan Belanda dan Hindia Belanda memburuk. Hutang pemerintah pun semakin besar akibat perang Diponegoro dan perang Belgia (Christine, 2014). Hal tersebut mendorong Van den Bosch pada tahun 1830 mengusulkan sistem dan program tanam paksa (cultuurstelsel) yang aturan rincinya tertuang dalam Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 No. 22. Menurut lembaran negara tersebut, tanah disediakan untuk tanaman tanam paksa namun tanah tersebut tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanan dan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah. Selain itu, apabila hasil tanaman ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayarkan maka kelebihannya akan dikembalikan ke rakyat. Sehingga bisa dikatakan masa itu adalah masa yang berat bagi pribumi Indonesia karena selain bekerja paksa untuk Belanda merekapun juga membayar pajak pada pemerintah Belanda (Christine, 2014). Keadaan yang berat tersebut diperparah dengan penerapan Staatsblad No 22 yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pada kenyataannya, tanah yang digunakan untuk tanam paksa lebih dari seperlima dan bahkan lebih dari setengah tanah yang dimiliki (Sadirman dan Lestariningsih, 2017)
Pada masa tanam paksa, banyak keluhan-keluhan bermunculan seperti pajak langsung dan tidak langsung yang tinggi, upah tenaga kerja paksa yang tidak memadai dan kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan sehingga pada tahun 1870 sistem tanam paksa dinyatakan berakhir. Antara tahun 1850 sampai 1880 sebenarnya pemerintah belanda telah mengambil beberapa langkah untuk meringankan rakyat seperti sistem hak milik perorangan terhadap tanah namun sistem ini banyak ditolak. Banyaknya penolakan atas sistem tersebut karena pada hakekatnya pemerintah kolonial tetap menerapkan sistem sewa tanah antara negara dengan rakyat sehingga pajak tanah akan tetap tinggi. Ditambah lagi pada masa itu banyak barang dari luar yang diperlukan rakyat dibebani berbagai macam pajak (Gallery Pajak Gedung MM, 2020).
Pada tahun-tahun selanjutnya, perkembangan pajak pada penjajahan Belanda terus berlanjut. Pada tahun 1882 sampai 1916 muncul pajak yang dinamakan poll tax yang mengenakan pajak berdasarkan kepemilikan rumah dan tanah. Sampai tahun 1908 dikenal juga pengenaan pajak berdasarkan ras. Pajak dikenakan berbeda antara pribumi, orang asia dan orang eropa (Faruq, 2018) . Selain pajak atas tanah, pemerintah belanda membentuk beberapa ordonansi Pajak seperti yang dijelaskan oleh Faruq (2018) berikut.
1) Ordonansi Pajak Rumah Tangga Tahun 1908
Ordonansi ini mengatur pemungutan pajak atas penyewaan rumah, bungalow dan penyewaan kendaraan bermotor.
2) Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1920
Ada dua jenis pendapatan yang dikenakan pajak dalam ordonasi ini yaitu (1) pajak pendapatan bagi orang Eropa (tax patent duty) dan pajak pendapatan bagi pribumi (bedrijfsbelasting) atau business tax yang dikenakan terjadap hasil perniagaan. Dalam ordonasi ini juga telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yaitu asas domisili dan asas sumber.
3) Ordonansi Pajak Bea Meterai Tahun 1921
Lebih dikenal dengan nama Aturan Bea Meterai 1921 (ABM 1921). Ordonansi ini mengatur tentang pengenaan bea meterai atas transaksi dan dokumen tertentu.
4) Ordonansi Pajak Bea Balik nama Tahun 1924
Mengatur tentang bea balik nama yang diatur dalam staatsblad No. 291
5) Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925
Jenis pajak ini muncul akibat semakin banyaknya perusahaan di Hindia Belanda yang dikenakan terhadap laba perseroan.
6) Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1932
Merupakan revisi dari ordonansi pajak pendapatan tahun 1920. Ditetapkan dalam Staatsblad 1932 No.111. Ordonansi ini mengenakan pajak kepada orang pribadi.
7) Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor Tahun 1934
Mengatur tentang pajak kendaraan bermotor yang diatur dalam staatsblad no 718
8) Ordonansi Pajak Upah Tahun 1934
Mengatur tentang pajak atas upah buruh yang diatur dalam Staatsblad 611.
9) Ordonansi Pajak Potong Tahun 1936
Mengatur tentang pajak atas harga daging potong di Pulau Jawa dan Madura
10) Ordonansi Pajak Pedapatan Tahun 1933
Mengatur tentang pajak atas upah dan pendapatan.
.
D. Masa Pendudukan Jepang (1942–1945)
8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang menyebabkan berakhirnya kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Pada zaman pendudukan Jepang, pemerintah Jepang mengeluarkan Osamu Serei No. 1 Tahun 1942 yang intinya semua peraturan di Hindia Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan kekuasaan militer Jepang.
“Pasal 3 Osamu Serei 1: Semua badan pemerintahan, kekuasaan hukum, dan undang-undang dari pemerintahan yang terdahulu tetap diakui secara sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah militer” Benda et al ( 1965) dalam Yuliati (2012)
Dengan adanya Osamu serei 1, kebijakan pajak pada masa Hindia Belnda tetap dilanjutkan dengan beberapa penyesuaian. Contoh pajak yang populer diterapkan dan disesuaikan oleh Pemerintah Jepang adalah pajak atas tanah. Jepang meneruskan land rent atau lendrente yang dikenakan Inggris dan kolonial Belanda terhadap semua jenis tanah produktif. Pada masa pendudukan Jepang, nama land rent atau landrente diubah menjadi land tax yang diadministrasikan oleh kantor pajak yang disebut “Zaimubu Shuzeika”. “Zaimubu Shuzeika” juga bertugas untuk melakukan survei dan pemetaan tanah di pulau Jawa dan Madura.Saat Indonesia merdeka Land Tax berubah menjadi Pajak Bumi (Rosdiana, et all , 2017). Pemerintah pendudukan Jepang juga menetapkan sistem wajib serah padi. Selain itu, ditetapkan juga pembayaran pajak untuk penggunaan fasilitas fasilitas tertentu, seperti jembatan, jalan raya, dan fasilitas umum lainnya. Masyarakat pada saat itu juga diwajibkan untuk membayar pajak sepeda bagi siapa saja yang memilikinya (Gallery Pajak Gedung MM, 2020).
E. Masa Kemerdekaan Republik Indonesia
Memasuki tahun 1945, Jepang mulai mengalami kekalahan dan semakin terdesak dengan negara-negara sekutu. Kondisi tersebut mendorong Jepang menggunakan politik simpati yang salah satu bentuk konkritnya adalah dibentuknya Dokuritsu Junbi Cosakai pada tanggal 1 Maret 1945. Dokuritsu Juunbi Cosakai ini secara harafiah diartikan sebagai Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indohesia (BPUPK) yang kemudian dikenal dengan imbuhan “Indonesia” menjadi BPUPKI pada tanggal 1 Maret 1945 (Saifudin, 2003).
Pada masa sidang BPUPKI yang kedua (10 Juli 1945 - 17 Juli 1945) tepatnya pada tanggal 14 Juli 1945 menurut arsip A.G. Pringgodigdo, kata pajak muncul untuk pertama kalinya. Tanggal disebutkan kata “pajak” yang pertama itulah yang 72 tahun kemudian melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 313/PJ/2017 tanggal 22 Desember 2017 ditetapkan hari pajak. "Hari pajak" diperingati pertama kali pada 14 Juli 2018.
Kemudian pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, founding fathers Republik Indonesia menuangkan dasar hukum pajak ke dalam Undang-Undang Dasar 1945 Hal Keuangan yaitu pada pasal 23. Pasal 23 UUD 1945 memuat lima butir ketentuan, butir kedua menyatakan bahwa “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang”. Dengan demikian, pajak sebagai “nyawa” negara telah secara resmi diatur oleh Undang-Undang 1945.
References
Aman. 2014. Indonesia: Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Yogyakarta: Pujangga Press.
Christine, Nadia Ayu. 2014. Latar Belakang Penerapan Ordonansi Pajak Penghasilan di Hindia Belanda tahun 1908-1942. Avatara e-Jurnal Pendidikan Sejarah Volume 2 No 1.
Darmosoetopo, Riboet. 1971. Prasasti Salimar IV. Skripsi. Universitas Gajahmada. Farouq, M. 2018. Hukum pajak di Indonesia: suatu pengantar ilmu hukum terapan di bidang perpajakan. Jakarta. Prenada Media.
Dwiyanto, Djoko. 1995. Pungutan Pajak dan Pembatasan Usaha di Jawa pada Abad IX -XV Masehi. Jurnal Humaniora I.
Pudyatmoko, Y. Sri. 2006. Pengantar Hukum Pajak, Yogyakarta : C.V.Andi Offset.
Rosdiana, Haula et., all. 2017. Kebijakan pajak atas Idle Land: Peluang dan Tantangan. Depok: Universitas Indonesia
Rustiadi, Ernan et., all. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, edisi Mei 2006. Bogor: IPB.
Saifudin. 2003. Lahirnya UUD 1945: Suatu Tinjauan Historis Penyusunan dan Penetapan UUD 1945.
Sardiman, Lestariningsih Amurwani Dwi. 2017. Sejarah Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Yuliati, Dewi. 2012. Mewaspadai Propaganda Melalui Kajian Sejarah (Studi Atas Sistem Propaganda Jepang di Jawa 1942-1945. Humanika. E-Journal Universtitas Diponegoro.
Galeri Pajak, Gedung Mar’ie Muhammad, Kantor Pusat Ditjen Pajak, didokumentasikan penulis tahun 2020.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 313/PJ/2017 tanggal 22 Desember 2017
Undang-Undang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-Undang Dasar 1945
Hari Pajak, Tugu yang Profan Sekaligus Sakral https://www.pajak.go.id/id/artikel/hari-pajak-tugu-yang-profan-sekaligus-sakral
Definisi Pajak https://kbbi.web.id/pajak
Comentarios